Penulis: Sri Narwanti, S. Pd *)
“ Siang malam ku selalu menatap layar terpaku, aku on line, online, on line, on line……….” itulah sepenggal lagu Saykoji yang sedang hits akhir-akhir ini. Dan kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari on line adalah kebiasaan baru yang sedang digandrungi banyak pihak, salah satunya anak didik kita.
Menurut Wikipedia on line adalah keadaan dimana seseorang terhubung dalam suatu jaringan ataupun sistem yang lebih besar. Gandrung untuk on line dibarengi juga dengan munculnya berbagai fasilitas komunikasi jejaring social di dunia maya seperti friendster, facebook, funbook, yahoo mail, twitter dan lain sebagainya. Fasilitas baru ini memungkinkan seseorang dapat bersosialisasi dengan lancar di dunia maya. Maka tak heran apabila on line dianggap seperti kebutuhan primer (baru) yang mutlak di penuhi.
Permasalahan muncul ketika aktivitas on line ini tidak mengenal tempat dan waktu, bahkan mencuri-curi waktu produktif kita. Misalnya yang terjadi pada anak didik kita, dimana saat pembelajaran mencuri-curi waktu sibuk dengan handphone untuk on line. Tentu saja ini akan mempengaruhi proses pembelajaran itu sendiri, dan akan mengganggu konsentrasi siswa saat menerima pelajaran.
Oleh karena itu guru harus proaktif apabila menemukan anak didiknya sibuk on line saat proses pembelajaran, misalnya dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, dengan menciptakan proses pembelajaran yang menarik. Proses pembelajaran yang monoton tentunya akan membuat siswa jemu dalam mengikuti pembelajaran. Oleh karena itu guru harus mampu manganalisa situasi dan kebutuhan siswa saat proses pembelajaran sehingga dapat menerapkan dan menciptakan suatu metode pembelajaran yang tepat. Dengan metode pembelajaran yang tepat, menarik dan menyenangkan tentunya membuat siswa tetap fokus pada proses pembelajaran dan tidak disibukkan oleh aktivitas lain.
Kedua, tegurlah perilakunya, bukan pribadinya, karena setiap anak memiliki harga diri. Menurut Indra Kusumah dan Vindy Firianti (Excellent Parenting: 2007) menegur pribadi sama seperti memberi label negatif, dan dapat mempengaruhi harga diri anak. Maka kedekatan emosi guru dan siswa bisa renggang. Padahal apabila guru dan siswa tidak memiliki kedekatan akan susah untuk memberikan nasihat dan menanamkan nilai-nilai moral yang positif.
Ketiga, jangan hanya berkomunikasi dengan siswa layaknya teman dinas. Menurut Abdullah Munir dalam Spiritual Teaching (2006) komunikasi teman dinas hanyalah komunikasi yang terjadi dengan siswa yang berkaitan dengan profesi. Komunikasi seperti ini akan berlangsung apabila anak melakukan kesalahan kemudian ditegur, tetapi apabila tidak ada kesalahan tidak ada sapaan, sehingga komunikasi yang terjadi hanya komunikasi formal. Maka guru hendaknya juga menyapa siswa dengan sapaan yang ramah seperti teman yang akrab pada setiap situasi bukan hanya saat melakukan kesalahan.
Keempat, pemberian reward. Apabila siswa mampu menghilangkan kebiasaan on line saat pembelajaran guru hendaknya memberikan reward. Pemberian reward tidak harus selalu berkaitan dengan pemberian nilai. Kata dan sikap yang penuh kasih sayang pun sebuah reward yang sangat indah tentunya.
Maka dengan langkah-langkah di atas harapannya guru dapat mengatasi kebiasaan baru ( on line) siswanya dengan damai. Anak didik kita adalah generasi yang memliki kebiasaan yang berbeda dengan kebiasaan gurunya dulu, maka langkah yang tepat bukan memusuhi kebiasaannya tetapi dengan cara damai mengatasinya sehingga pembelajaran kita bukan hanya transfer ilmu pengetahuan tetapi juga menanamkan nilai-nilai moral.
*)Penulis,
Guru Ekonomi Akuntansi
MAN Yogyakarta II
ALAMAT SEKOLAH : MAN Yogyakarta II, Jalan KH. Ahmad Dahlan 130 Yogyakarta
FACEBOOK : srinarwanti@gmail.com
Komentar
Posting Komentar